Breaking News
Loading...
Sunday, April 28, 2013

Info Post


SALAH satu wilayah di dunia yang memiliki habitat asli harimau liar adalah Sumatera. Di pulau ini ada Harimau Sumatera atau Panthera Tigris Sumatrae, subspesies harimau termungil dan paling berwarna dalam jenisjenis harimau di dunia.
Aceh yang merupakan bagian dari Sumatera tentu merupakan basis habitat Harimau Sumatera. Terdapat banyak wilayah konservasi di Aceh seperti Taman Nasional Gunung Leuser, wilayah konservasi Ulu Masen, dan beberapa wilayah lain yang dibentuk untuk melestarikan Harimau Sumatera yang kini jumlahnya di ambang kepunahan, hanya tersisa sekitar 400-500 ekor lagi.
Tentu kita tidak ingin Harimau Sumatera hanya menjadi catatan sejarah sebagai hewan yang pernah hidup di Sumatera seperti Harimau Jawa dan Bali.
Layaknya di beberapa negara yang memiliki habitat harimau, seperti Siberia dan Bengali (India), semenjak fase pertama kehidupan manusia tentu telah bersinggungan langsung dengan harimau di alam liar.
Seperti cerita orang Jepang yang tidak memiliki habitat harimau liar, tetapi semangat ksatria pasukan Jepang dibangun dari simbol harimau (tora). Tentu kita ingat semboyan “tora tora tora” digunakan oleh Jepang saat membombardir Pearl Harbour, sehingga mereka memiliki keberanian dan kekuatan layaknya sang raja hutan tropis itu.
Bagi orang Jepang halilitar merupakan simbol dari harimau. Begitu juga di beberapa negara lain. Harimau dianggap sebagai hewan suci yang kemudian dihormati dan dimuliakan sebagai simbol keberanian dan kekuatan yang tinggi.
Status harimau yang kemudian sangat dimuliakan dan dianggap suci merupakan hasil kontak dari manusia dengan harimau saat berkebun dan berladang. Dengan melihat kemampuan harimau yang sangat luar biasa sebagai raja hutan, manusia menghormati hewan tersebut melebihi hewan-hewan hutan yang lain. Hal ini berlaku hampir di seluruh wilayah yang memiliki harimau di dunia.
Setiap peradaban dan kebudayaan manusia bisa dipastikan pasti ada dongeng-dongeng, legenda-legenda, mitologi, atau cerita rakyat yang berhubungan dengan hewan. Karena di hutan kita memiliki harimau tentunya masyarakat juga memiliki sepenggal cerita tentang harimau dan kemudian dipadukan dengan persepsi-persepsi lokal menjadi sebuah mitologi yang sangat menarik untuk ditulis dan diingat.
Terlepas dengan modernnya kita sekarang, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa nenek moyang kita memiliki kisah yang sangat menarik tentang harimau dan sangat sayang kalau dilupakan.
Di Aceh, dari penelusuran penulis sepanjang lintas barat-selatan yang memiliki banyak kasus hubungan manusia dengan harimau terdapat banyak kisah tentang binatang ini. Di sini penulis bisa menyimpulkannya dari hasil wawancara dengan beberapa orang yang dikenal di wilayahnya sebagai pawang harimau.
Ada tiga klasifikasi harimau. Pertama, harimau liar asli. Harimau ini hidup di hutan-hutan Aceh yang kemudian masyarakat di lintas barat selatan sering menyebut dengan istilah “nek” (bahasa Aceh), “ninik” (bahasa Jamee) atau “Poe Gurak Sah”.
Hampir seluruh masyarakat percaya bahwa harimau hewan mulia yang tak dapat disumpahi. Apabila disumpahi maka hal buruk akan terjadi padanya.
Bagi masyarakat yang kehidupannya dekat dengan habitat harimau, mereka memiliki semacam aturan khusus yang tidak boleh dilanggar jika masuk hutan. Di antaranya tidak boleh menyumpahi harimau, tidak boleh berkata kotor, tidak boleh ke hutan dengan kondisi leher yang tampak. Saat melihat jejak kaisan harimau apabila menyilang jalan, maka tidak boleh dilewati. Apabila kaisannya lurus mengikuti jalan maka jalan tersebut dapat dilewati. Lalu juga tidak boleh menunggui pohon durian yang sering didatangi oleh harimau.
Yang sangat menarik adalah aturan yang tidak memperbolehkan orang yang memiliki pusar di tekuknya atau biasa disebut pusar harimau untuk masuk ke hutan karena kemungkinan besar akan diterkam harimau. Mereka percaya bahwa di dalam pusar seperti itu terdapat darah harimau dan harimau menginginkannya kembali.
Oleh sebab itu pawang harimau harus mencabut pusar harimau agar mereka yang memiliki pusar itu aman saat pergi ke hutan. Setiap orang yang pergi ke hutan harus selalu mawas sambil melihat ke belakang karena katanya harimau pasti menyerang dari belakang dan tak akan pernah menyerang ke depan karena di dahi manusia ada kalimah yang tak bisa dipandang oleh harimau.
Ada semacam cerita yang mengatakan bahwa setiap orang yang hendak ke hutan harus membawa tongkat karena dahulu kala di kapal Nabi Nuh harimau berjanji tidak akan menyerang makhluk berkaki tiga, karena pada saat itu Nabi Nuh bertongkat.
Apabila ketentuan-ketentuan tersebut dilanggar kemungkinan besar orang tersebut akan diserang harimau ketika di hutan. Para pawang pun mengatakan bahwa harimau yang merek tangkap pada setiap kasus penyerangan terhadap manusia, merupakan harimau yang salah. Harimau yang betul-betul menyerang orang tersebut. Karena harimau yang menyerang manusia menurut kepercayaan masyarakat setempat tidak akan mendapat rezeki selama 44 hari di hutan dan pastinya akan turun ke pemukiman manusia untuk mencari mangsa lagi.
Penangkapan yang biasanya dibuat oleh pawang harimau merupakan perangkap tradisional dengan memasukkan umpan seperti kambing di dalamnnya. Sehingga kemudian karena status harimau yang begitu dihormati lahirlah idiom orang Aceh “Ngoen gajah bek ta plung, ngoen rimung bek ta mayang” ( dengan gajah jangan lari, dengan harimau jangan bercanda). Sehingga zaman dulu setiap ada harimau yang mati dikuburkan layaknya manusia dibalut dengan kain putih.
Pengalaman Teungku Syarwani Sabi di Kaway XVI Meulaboh pada 2007 berhasil menangkap sekitar delapan harimau menggunakan perangkap tradisional di daerah Peulumat Aceh Selatan setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa sejak dulu antara manusia dan harimau telah memiliki koneksi saling menghargai sehingga keberadaan harimau terjamin walaupun tanpa adanya regulasi perlindungan satwa liar. Saling menghargai sebagai mahluk Allah yang sama-sama mencari rezeki di hutan.
Manusia sejak dulu telah mempelajari pola tingkah laku harimau. Mempelajari harimau tentunya akan mempermudah kita untuk melindunginya dari kepunahan. Hanya ada segilintir manusia yang bersikap subjektif memburu harimau demi keuntungan temporer. Mereka mungkin kurang paham akan pentingnya keberadaan harimau demi seimbangnya ekosistem hutan Aceh. Hutan yang telah memiliki status sebagai paru-paru dunia.
Jenis yang kedua adalah Harimau Daya. Layaknya mitologi-mitologi tentang manusia serigala (werewolf) di Eropa sana, Aceh juga memiliki legenda mengenai keberadaan manusia yang bisa berubah menjadi harimau.
Disebut Harimau Daya karena menurut cerita harimau tersebut berasal dari daerah Daya, Lamno sekarang. Percaya atau tidak namun dulu katanya hiduplah seorang raja di daerah Daya. Di negeri tersebut terdapat dua kolam yang satu kolamnya jernih dan wangi dan satunya lagi kotor serta berbau amis.
Setelah matahari terbenam orang-orang Daya beramai-ramai tua muda masuk ke kolam kotor dan amis dan kemudian mereka berubah menjadi harimau. Ketika ingin kembali menjadi manusia mereka akan masuk ke kolam yang bersih dan wangi. Hanya pada saat bulan purnama mereka tidak bisa berubah.
Orang-orang Daya memiliki karakteristik tidak memiliki lekukan di tengah bibir atas, tidak bisa menatap manusia biasa secara langsung karena ada kalimah di dahinya dan pada saat mereka meninggal tidak dapat dimandikan dengan jeruk purut, karena semua bulu di badannya akan berdiri semua.
Seorang pawang harimau, Pak Ubaidillah, mengatakan kasus ini pernah terjadi di daerah Trumon, Aceh Selatan, sekitar tahun 1930. Saat seseorang dimandikan dengan Ie Tujoeh karena di dalamnya ada jeruk purut semua bulunya berdiri.
Raja Daya kemudian menikah dengan seorang putri dari Kerajaan Trumon. Sang putri tidak mengetahui bahwa Raja Trumon bisa berubah menjadi harimau. Begitu tahu sang putri takut dan kembali ke Istana Raja Trumon. Raja Daya marah mengetahui bahwa permaisurinya telah kabur. Dengan kemarahan yang sangat besar ia pergi menjemput kembali sang putri.
Terjadilah peperangan antara Raja Trumon dan Raja Daya yang kemudian dimenangkan Raja Trumon. Setelah membunuh Raja Daya, Raja Trumon mengulitinya yang pada saat itu berwujud harimau dan memperlihatkan kulitnya pada seluruh pasukan Raja Daya.
Di situlah kemudian pasukan Raja Daya berjanji akan datang setiap musim barat untuk menuntut balas kepada Kerajaan Trumon yang telah membunuh raja mereka. Entah mungkin ada hubungan dengan mitos ini, tapi kita ketahui bahwa di Trumon banyak kasus serangan harimau baik kepada hewan ternak atau bahkan manusia. Namun ini hanya sebuah dongeng yang sayang kalau dilewatkan.
Ketiga, Rimung (harimau) Aulia. Tentunya kita sering mendengar frasa ini di lagu Liza Aulia yang berjudul Kuthidieng. “lam puteh kayangan, lam puteh kayangan aulia, rimung aulia, aulia rimung aulia”.  Ini semacam idiom Aceh kuno yang menceritakan tentang adanya Rimung Aulia.
Dalam klasifikasi ini menurut cerita ada semacam spirit harimau pada orang-orang tertentu yang dianggap bersih dan suci. Tentunya kita sering mendengar kalau ada orang yang memelihara harimau atau ada makam yang dijaga oleh harimau. Harimau yang dimaksudkan di sini berupa spirit atau semangat yang ada di dalam diri seseorang sehingga merasa memiliki atau berhubungan langsung dengan harimau.
Harimau ini dianggap sebagai penjaga orang-orang suci. Karena seperti pembahasan di atas, harimau dianggap sebagai hewan yang mulia. Dan hanya bisa berhubungan dengan orang mulia juga. Banyak cerita mengatakan bahwa harimau tersebut kadang-kadang bisa dilihat. Benar atau tidaknya kita tidak mengetahuinya.
Selain jenis harimau, pawang rimung atau pawang harimau juga menarik dibahas. Di era modern sekarang mungkin orang-orang tak akan percaya lagi mengenai ada beberapa manusia yang bisa berkoneksi langsung tanpa alat-alat modern seperti obat bius, dengan harimau.
Bertemu dengan Pawang Syarwani Sabi, Pak Mukhtar (Ranger CRO Sampoinet-Ligan), Pak Ubaidillah Trumon, H. Zainun Panton Luas-Aceh Selatan dan Pak Lanyong di Samadua, Aceh Selatan memberikan informasi yang sangat menarik tentang bagaimana mereka berhubungan dengan harimau.
Kemampuan untuk berkomunikasi dan membuat harimau jinak seperti hewan peliharaan sepertinya terlalu berlebihan bagi mereka. Tapi dari beberapa saksi-saksi yang memberikan informasi bahwa kejadian itu benar adanya. Kemampuan menjadi pawang harimau merupakan warisan turun-temurun dari orang-orang terdahulu. Para pawang mengatakan ilmu mereka miliki dari pawang-pawang sebelumnya yang dimanfaatkan sebagai mediator apabila harimau-harimau menyerang hewan ternak dan manusia.
Mereka mengatakan menjadi pawang merupakan pekerjaan untuk bisa menjaga manusia dari bahaya serangan harimau. Tidak hanya itu saya rasa posisi pawang cukup berperan dalam menjaga kelestarian harimau di Aceh.
Dengan adanya pawang, manusia tidak serta-merta memburu harimau karena ada satu atau dua kasus menyerang ternak. Harimau melakukan itu pun karena terdesak akibat habitatnya yang terus dikuras sebagai lahan perkebunan dan pemukiman. Wajar saja jika harimau menyerang ternak atau manusia karena mereka pikir itu masih dalam habitatnya.
Para pawang hanya mau menangkap harimau yang bermasalah, menyerang ternak atau manusia. Cara menangkapnya pun sangat tradisional, membuat kandang dari kayu sepanjang 4 meter dan lebar sekitar 1 meter kemudian memasukkan kambing sebagai umpan di dalamnya. Selanjutnya tinggal menunggu harimau itu masuk ke dalam kandang.
Bagi mereka bekerja sebagai pawang harimau adalah ibadah, untuk menjaga manusia dan harimau. Akhir pertemuan dengan salah satu pawang sambil bercanda saya berceloteh apakah saya bisa diajari menjadi pawang? Seraya tertawa sang pawang pun berseru “tanyoe beda sikula, dron sikula di kota, lon sikula di glee” ( kita beda sekolah, kamu sekolah di kota, saya sekolah di hutan).
Sungguh pertemuan yang luar biasa, bisa bertemu dengan beberapa pawang rimung berusia rata-rata di atas 80 tahun ke atas yang mau berbagi pengalaman, hal-hal baru tentang harimau dan orientasi orang Aceh terhadap harimau. Saya rasa untuk generasi selanjutnya tidak ada lagi profesi pawang rimung, karena modernisasi, pendidikan modern dan berkurangnya jumlah harimau di hutan.
Bagi saya poin yang paling penting bukan soal percaya atau tidak terhadap cerita-cerita tersebut. Layaknya salah salah satu sifat dari ilmu sosiologi, yaitu nonetis, kita tidak memberikan penilaian baik atau buruk terhadap sebuah khazanah pemikiran dan kebudayaan.
Tulisan ini berupaya untuk memberikan sedikit informasi kalau di dalam kultur masyarakat Aceh ada cerita-cerita, hikayat-hikayat, atau dongeng mengenai harimau. Hal ini penting diketahui oleh generasi terkini supaya mereka tidak lupa akan kekayaan khazanah budaya, lokal genius masyarakatnya sendiri yang wajib untuk dilestarikan

- See more at: http://atjehpost.com/nanggroe_read/2013/04/28/49653/77/3/Mencari-harimau-Aceh#sthash.ZzeV61jp.dpuf



Artikel Terkait Aceh