Hari ini, Kopassus memperingati ulang tahunnya yang ke-61. Usia panjang dan matang bagi pasukan elit yang kehebatannya diakui dunia. Bicara ulang tahun Kopassus, salah satu yang banyak diingat adalah peringatan pada tahun 1980.
Ceritanya, ketika itu kondisi politik panas menyengat. Dua tahun lagi, bakal digelar Pemilu. Suara-suara kritis terhadap Presiden Soeharto ramai bermunculan. Hiruk pikuk. Utamanya tudingan-tudingan bahwa Orde Baru kental dengan korupsi.
Soeharto tak mau diam menghadapi kritik. Pada 27 Maret 1980, Pak Harto pidato dalam acara rapat pimpinan TNI (dulu masih ABRI). Pidato Pak Harto sepertinya terasa normatif. Tetapi, pesan politik yang disampaikannya sangat kuat. Pak Harto mengatakan, ABRI berjanji melindungi Pancasila maupun UUD 1945 dari pihak-pihak yang berupaya menggantinya. Pak Harto menambahkan, ABRI harus memilih mitra-mitra politik yang benar dan bersedia mempertahankan Pancasila dan UUD 1945.
Pasca-pidato ini, suasana politik makin menyengat. Kritik terus bermunculan. Bahkan ada yang menyinggung keluarga Pak Harto. Di antaranya tudingan bahwa Cendana dijadikan pusat penentuan pemenangan tender pemerintah. Muncul pula tudingan Ibu Tien Soehartomeminta komisi dari hasil tender.
Terhadap kritik-kritik itu, Pak Harto akhirnya memberikan jawaban. Dia pilih momen dengan pesan simbolis dan kuat: Hari Ulang Tahun Kopassandha (sekarang Kopassus) ke-28.
Hari itu, 16 April 1980, Pak Harto berpidato di Markas Kopassandha, Cijantung. Awal pidatonya Pak Harto menyampaikan selamat terhadap Korps Baret Merah. Berikutnya, Pak Harto mengajak momen ulang tahun itu sebagai momen introspeksi. "Dalam memperingati hari jadi selayaknya tidak hanya kita gunakan sekadar untuk bersukaria," kata Pak Harto ketika itu.
Berikutnya, Pak Harto kembali menekankan isi pidato seperti pada Rapim ABRI sebulan sebelumnya, yaitu soal setia pada Pancasila. "Ancaman kekuatan senjata harus kita hadapi dengan kekuatan senjata pula yang kita miliki. Akan tetapi kita mengetahui bahwa ancaman ideologi Pancasila tidak semata-mata dari kekuatan senjata," ujar Pak Harto. Dia menyebut adanya upaya untuk mengubah dan mengganti dasar negara Pancasila.
Berikutnya, isi pidato Pak Harto makin blak-blakan. Dia memaparkan pihak-pihak yang mencoba mengganti Pancasila diawali dengan mendiskreditkan pemerintah dan dirinya sebagai presiden. "Saya bertemu dengan kolega saya Kusno Utomo, yang telah mendengar isu-isu yang sebetulnya tidak pada tempatnya yang ditujukan kepada saya, juga kepada istri saya Bu Harto. Selalu diisukan bahwa istri Soeharto menerima komisi. Menentukan pemenangan tender dan komisi dan lain sebagainya. Yang sebenarnya tidak terjadi sama sekali keadaan demikian," bantah Pak Harto.
Pak Harto tidak berhenti di situ. "Dan bahkan akhir-akhir ini sampai juga ditujukan kepada saya, yang sudah diisukan di kalangan mahasiswa dan juga di kalangan ibu-ibu yang biasa mudah untuk sampai ke mana-mana. Satu isu kalau saya ini katanya mempunyai "selir", mempunyai simpanan salah satu dari bintang film yang terkenal yang dinamakan Rahayu Effendi. Ini sudah lama bahkan sekarang ini juga dibangkitkan hal itu kembali. Padahal kenal, berjumpa saja tidak," ujar Pak Harto dalam transkrip lengkap pidato yang dimuat di Memori Jenderal Yoga terbitan PT Bina Rena Pariwara karangan B Wiwoho dan Banjar Chaerudin.
"Apa ini semua maksudnya? Maksudnya adalah tidak lain karena mungkin mereka itu menilai kalau saya itu menjadi penghalang utama dari kegiatan politik mereka itu. Karena itu harus ditiadakan," kata Pak Harto. Poin berikutnya Pak Harto menyebut kalaupun berhasil meniadakan dirinya, maka masih ada ABRI dan Kopassandha yang akan membentengi upaya mengganti Pancasila dan UUD 1945.
Pasca pidato Pak Harto itu, suasana politik bukannya mereda. Tapi justru makin panas. Pidato Pak Harto memicu munculnya Petisi 50 dimotori antara lain oleh Ali Sadikin dan Hoegeng Iman Santoso. Pada ungkapan keprihatinan Petisi 50 yang dikeluarkan 5 Mei 1980, salah satu poinnya adalah keprihatinan terhadap pidato Pak Harto yang mereka sebut keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Padahal, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu Bangsa.
Begitulah sekelumit cerita hari ulang tahun Kopassus 23 tahun lalu. Selanjutnya, seperti dalam otobiografinya, Pak Harto mengaku tidak suka dengan cara-cara Petisi 50. "Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot." Pak Harto turun dari kursi presiden tahun 1998.