Foto : Rumah Nurhayati di Teumpok Teungoeh, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. |
Lhokseumawe - GUBUK kecil itu berada di samping rawa. Di sekelilingnya ada ilalang setinggi orang dewasa. Bangunan itu cuma berpondasi kayu kusam dan berdinding daun rumbia lusung. Demikian juga dengan atap rumah yang tembus ke langit di malam hari. Pemilik rumah itu bernama Nurhayati. Di sanalah,
dia biasa menghitung bintang di malam hari. Di sana juga, Nurhayati tinggal kesepian sepanjang tahun. Kecuali air hujan dan petir yang sering menyapanya jika musim penghujan tiba.
dia biasa menghitung bintang di malam hari. Di sana juga, Nurhayati tinggal kesepian sepanjang tahun. Kecuali air hujan dan petir yang sering menyapanya jika musim penghujan tiba.
Nurhayati adalah perempuan kelahiran Kota Lhokseumawe, 31 Agustus 1967, atau 45 tahun silam itu. Konon, kota ini bergelar Petro Dollar. Daerah penghasil cadangan minyak terbesar di nusantara. Sumber daya alam yang mampu membiayai roda pemerintah negeri ini selama puluhan tahun.
Namun Kesejahteraan Itu bukan untuk Nurhayati !
Gubuknya masih berdiri ringkih di tengah rawa dan bangunan-bangunan permanen kota. Tepatnya, di Teumpok Teungoeh, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh.
Nurhayati tinggal sebatang karang. Ia ditinggal kawin lari oleh suaminya. Penyebabnya, karena ia dianggap mandul.
Gubuk itu ditinggalinya sejak tahun 2004 silam. Rumahnya tanpa listrik. Hanya lilin berbotol mini menemaninya untuk menghindari gelap-gulita di malam hari.
Ada dua tempat tidur di rumah tak berkamar itu. Satu berbahan busa. Sedangkan satu lagi dipan sederhana. Namun Ia lebih memilih dipan sederhana.
“Saya tidak bisa tidur disitu, bisa sesak saya, karena tenggelam ke dalam,” kata Nurhayati, Sabtu, 2 Februari lalu.
“Saya tidak tahu harus tinggal dimana. Inilah yang saya miliki,” tuturnya lagi.
Sedangkan rawa di sekeliling rumahnya adalah milik salah seorang karyawan perusahaan asing ternama yang ada di sekitar kota.
Selama ini, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Nurhayati hanya berbekal kemampuan sebagai tukang urut keliling.
Sayangnya, tubuhnya kini mulai digerogoti beberapa penyakit, mulai reumatik hingga gangguan lambung. Keadaan ini memaksa hidupnya bergantung pada obat-obat generik yang didapatkan di apotik.
Dengan kondisi seperti itu, Nurhayati tetap terlihat tegar dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Setiap paginya, setelah salat subuh, ia pergi mengambil air di sumur untuk diisi ke bak kamar mandi di rumahnya. Kemudian, ia berkemas ke pasar dengan berjalan kaki menggunakan sendal bututnya, sambil menjinjing sebuah kantung beras untuk mengutip botol-botol bekas air mineral. Di pasar, ia giat membantu sepasang suami istri yang berdagang buah kelapa.
“Di sana, saya berkerja sejak pagi hingga malam hari,” katanya pelan.
Perempuan yang memiliki kesenangan memelihara bunga untuk menghapus sepi ini mengaku tidak pernah mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
“Hanya ada bantuan dari tetangga,” katanya sambil tertunduk lesu. Baru-baru ini, ia dibantu untuk memperbaiki atap rumah oleh seorang dokter yang tinggal di sekitar lingkungan itu. Namun tetap saja ia tak mampu menggantikannya dengan atap seng atau genteng tanah liat.
Nurhayati tidak bermimpi banyak. Ia hanya ingin menyambung hidup dari hari ke hari. Minimal, sampai maut memisahkan jiwa dan raganya.
Penulis: Jurnalis dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan III.