Meski Pemilu masih satu tahun lagi, DCS masih berproses, dan DPT belum final, namun kita sudah bisa memprediksi wajah-wajah yang akan menjadi anggota DPR. Prediksi ini bisa kita ukur dengan DCS yang diserahkan partai politik kepada KPU. Terlihat masih banyaknya artis dan orang-orang lama yang berada di DCS sehingga sepertinya wajah dan geliat DPR periode yang akan datang tak akan berubah atau sama dengan periode saat ini.
Pengalaman masa lalu sepertinya tidak dijadikan pelajaran bagi partai politik, di mana artis yang diusung menjadi caleg meski tak semuanya, ternyata tidak mampu memberi kontribusi yang positif di DPR bahkan karena ketidaksiapan para artis dalam berkiprah membuat mereka ada yang mengundurkan diri, melakukan tindak pidana korupsi, dan terlibat penggunaan narkoba. Bila ada yang tetap bertahan, peran mereka tidak banyak, hanya sebatas hadir, duduk, dan terima gaji.
Meski kehadiran artis dikritik oleh banyak masyarakat termasuk elit partai politik sendiri namun kehadiran artis tetap saja dibutuhkan. Jadi artis di dunia politik adalah sosok yang dibenci tapi juga dirindukan. Mereka dirindukan karena artis adalah sosok yang mempunyai daya tarik yang sangat kuat di tengah masyarakat, entah karena kecantikan, kegantengan, kelucuan, dan faktor arts lainnya. Daya tarik inilah yang membuat masyarakat menyukai. Dari suka inilah kemudian memilih bila dia mau menjadi wakil rakyat. Daya tarik inilah yang membuat banyak partai politik merekrut artis menjadi calegnya.
Meski banyak caleg dari kalangan artis namun mereka yang terpilih tak seluruhnya. Mungkin kita bersyukur tak semua artis yang maju bisa terpilih, kalau semua terpilih bagaimana kinerja DPR? Sedikit saja sudah susah mengimbangi banyaknya kerja yang harus dilakukan.
Artis menjadi caleg itu syah. Sebagai warga negara, artis mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Sehingga melarang artis sebagai caleg itu justru yang melanggar konstitusi. Diributkan oleh orang terhadap artis sebagai caleg karena selama ini sosok artis adalah dunia yang jauh dari dunia politik bahkan diharapkan menghindar dari dunia ini. Hal inilah yang menyebabkan banyak artis tidak tahu banyak tentang politik.
Bila lingkungan sudah menjauhkan artis dari politik terus kemudian mereka masuk dalam dunia politik lalu apa jadinya? Jadinya ya seperti gambaran saat ini bahwa ketika artis menjadi anggota DPR kinerja mereka tidak maksimal. Bila kinerja tidak maksimal yang rugi bukan hanya partai politik namun juga rakyat.
Untuk itu sebaiknya partai politik bila mengajukan caleg seharusnya lebih memprioritaskan kepada orang-orang yang dirasa mampu menjalankan fungsi dan tugas DPR. Namun karena adanya pandangan bahwa caleg tidak hanya pintar namun juga harus popular dan kaya, hal inilah yang mengacaukan untuk menyetor DCS yang ideal. Memang benar caleg harus popular dan kaya namun hal itu bukan yang prioritas.
Meski bukan prioritas kenyataannya partai politik lebih suka menentukan caleg dengan acuan popularitas dan kekayaan. Popular dan kekayaan dianggap oleh partai politik sebagai sesuatu yang lebih mudah untuk memenangkan Pemilu daripada orang yang hanya bermodalkan kepintaran.
Penulis yakin bahwa yang masuk DCS adalah orang-orang kaya sebab untuk bisa menjadi DCS mereka harus bayar sekian juta. Ada sebuah partai politik mengharuskan bila mau menjadi DCS harus bayar Rp300 juta. Itu belum termasuk biaya-biaya lainnya. Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menyebut syarat minimal seorang caleg yang serius harus menyiapkan minimal uang Rp1 miliar. Anggota DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan dalam Pemilu 2014 menyiapkan Rp1,5 miliar.
Bila Bambang Soesatyo menyebut nilai minimal Rp1 miliar, berapa maksimalnya? Tentu tak terhingga sebab bila di lapangan nilainya bisa menggelembung. Calon pemilih di dapil yang mata duitan bisa juga menjadi penyedot biaya pemilu menjadi melambung. Meski caleg mengeluarkan uang bermiliar-miliar namun banyaknya uang yang dikeluarkan tidak berbanding lurus untuk memenangi pemilu. Banyaknya uang dikeluarkan belum tentu menjadi jaminan ia akan terpilih.
Akibat pencalegan yang berbasis pada popularitas dan kekayaan inilah yang akan membahayakan DPR. Bila hanya mengandalkan popularitas (artis) maka yang akan terjadi seperti pemaparan di atas dan bila yang hanya mengandalkan uang maka akan menunculkan kemungkinan tindak korupsi. Bagaimana tidak korupsi kalau biaya yang dikeluarkan Rp1 miliar sementara gaji yang diterima selama 5 tahun totalnya hanya Rp1,8 miliar. Bisa buat apa Rp800 juta selama 5 tahun? Bila ada caleg yang mengeluarkan hingga Rp2 miliar, berarti dia di DPR hanya kerja bakti. Kalau ada yang mengeluarkan hingga Rp3 miliar berarti dia di DPR menjadi romusha.
Bila sudah demikian maka wajah anggota DPR yang akan datang tak akan berubah dengan wajah DPR periode sekarang. Di tahun 2014-2019, akan ada anggota DPR dari kalangan artis yang mundur karena tidak mampu bekerja atau melakukan tindak korupsi. Sedang di kalangan anggota DPR non artis akan banyak ditangkap oleh KPK karena melakukan tindak korupsi.
Wajah seperti ini akibat dari liberalisasi demokrasi. Demokrasi yang dibangun dengan landasan yang lebih mengedepankan menang dan kalah tanpa dibarengi dengan mutu. Tak heran banyak kader partai dikalahkan oleh orang yang mempunyai uang atau lebih popular dalam penyusunan DCS. Kita tidak tahu kapan hal demikian akan hilang dari demokrasi. Hal demikian tidak hilang bila elit kita tidak mau berubah atas sikap-sikapnya yang haus mengejar kekuasaan. PPP misalnya, demi meraih kursi di DPR sebanyak-banyaknya, tiba-tiba menggaet Angel Lelga. Padahal Angel Lelga selama ini sepertinya jauh dari nilai-nilai yang diperjuangkan oleh partai berlambang partai Kabah itu.